Salah satu dari sepuluh wasiat Nabi SAW yang disebutkan di Al-Quran adalah berlaku adil walaupun dengan kerabat sendiri. Maksudnya adalah jika ada keluarga seperti Istri, Anak, Suami yang melakukan kesalahan maka salahkanlah. Allah SWT berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ اليَتِيْمِ إِلَّا بِالَّتِيْ
هِيَ أَحْسَنَ حَتّىَ يَبْلُغُ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوْا الكَيْلَ وَالمِيْزَانَ بِالقِسْطِ
لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ
ذَا قُرْبَ
“Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil
kendati pun dia adalah kerabat (mu)” (Al-An’am : 152)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah didatangi seseorang dari
wilayah Samarra yaitu wilayah sekitar Rusia. Yang pada saat itu dikuasai oleh
Qutaibah bin Muslim, seorang panglima perang islam. Saat itu, kota Samarra
mayoritas penduduknya adala penyihir. Sedangkan Qutaibah bin Muslim yang
mengetahui wilayah itu sangat strategis dan ingin langsung menaklukkannya.
Akhirnya, Qutaibah bin Muslim memerangi kota itu tiba-tiba tanpa menawarkan
islam dan jizyah. Karena pemuda ini bisa bahasa Arab, maka penduduknya
memintanya agar datang ke Khalifah Islam yang terkenal keadilannya.
Suatu hari, pemuda itu datang ke Damaskus dan mencari istana Khalifah
sampai akhirnya ia singgah di suatu masjid. Di Masjid, pemuda itu bertemu
dengan seorang Muslim dan muslim itu mendkwahkan islam kepada pemuda tersebut.
Akhirnya pemuda itu masuk islam dan mengatakan ingin bertemu Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
Setelah ditunjukkan, ternyata Umar bin Abdul Aziz sedang menambal
dinding temok rumah dengan tanah liat dan istrinya sedang membuat adonan kue. Lalu,
tiba-tiba datang anaknya dengan kepala berdarah. Datang juga seorang ibu dengan
anaknya dan berkata “Maafkan anakku wahai Khalifah”. Umar pun bertanya
kepada anaknya tentang kronologis kejadiannya. Ternyata anak khalifah dan anak
tadi sedang lempar lemparan batu. Anak Umar melempar batu duluan tapi tidak
kena. Lalu anak tadi melempar dan kena anaknya Umar. Akhirnya, Umar memaafkan
anak tadi dan menyalahkan anaknya sendiri. Malah anak tadi diberikan atthaya
atau semacam gaji bagi setiap muslim yang dihitung setiap bulan mulai dari
lahir.
Pemuda tadi pun tahu betapa adilnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kemudian,
pemuda itu menyampaikan hajatnya. Setelah selesai bercerita, Umar menulis surat
dan memberikan stempel dengan cincinnya serta memberikannya kepada pemuda itu
dan berkata “Serahkan surat ini kepada hakim Samarra yang telah aku tunjuk”
. Pemuda itu kembali ke negrinya, Samarra yang membutuhkan perjalanan
selama sebulan.
Sesampainya disana, pemuda itu menyerahkan surat itu kepada sang hakim.
Hakim itu memutuskan untuk memanggil seluruh penduduk Samarra dan
pembesar-pembesarnya. Termasuk Qutaibah bin Muslim. Hakim itu berkata, “Apakah
benar kalian diserang tiba-tiba tanpa ditawari islam dan jizyah?”. Penduduknya
menjawab “Benar”. Qutaibah bin Muslim pun mengaku salah. Akhirnya, hakimpun
memutuskan untuk mengeluarkan ribuan kaum muslimin dari kota Samarra dan
kembali menawarkan islam. Jika tidak mau maka disuruh membayar jizyah. Jika tidak
mau baru diperangi.
Akhirnya, ribuan kaum muslimin keluar dari kota Samarra. Dan penduduk
kota yang mayoritasnya penyihir itu mengakui keadilan kaum muslimin dan
seketika itu seluruh penduduknya bersyahadat. Subhanallah, betapa adilnya
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tidak penting apakah itu keluarganya atau
non-muslim, tetapi bertindak adil sesuai syariat Islam. Semoga, akhlak seperti
itu tercerminkan pada kita dan anak cucu kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar